TIMES SINGARAJA, MEDAN – Pernahkah terpikir di benak kita bahwa di dalam area istana megah pada pertengahan Kota Medan yaitu Istana Maimun, terdapat sebuah artefak bersejarah kuno? Lebih tepatnya di sekitar halaman samping istana yang dilindungi oleh kokohnya minatur rumah adat Karo. Dalam miniatur tersebut, sebuah tempat penyimpanan pusaka dengan khas adat Karo juga, ada sebuah meriam puntung yang bentuknya sudah tak lagi utuh. Meriam ini menggambarkan jejak peristiwa di masa lampau.
Meriam puntung, sebuah saksi bisu dari cikal bakalnya kerajaan Islam di Kesultanan Deli yang terletak di Jalan Brigjen Katamso Medan. Posisinya cukup strategis, para pengunjung bisa secara mudah untuk melirik peninggalan bersejarah ini. Pada bagian samping miniaturnya, sebuah tugu didirikan sebagai pengingat dan pemaparan singkat terkait legenda Meriam Puntung.
Tempat berserajah ini dikelola oleh seorang perawat atau pemandu bernama Syarida. Beliau menggiring pengunjung untuk menunjukkan satu hal unik pada artefak ini. Bila telinga ditempelkan ke bagian lubang meriam, terdengar ada suara seperti gemuruh. Menurutnya, itu merupakan wujud dari bagian sukma milik Mambang Khayali yang masih tertinggal. Beliau juga bertugas untuk memaparkan cerita selengkapnya terkait legenda Meriam Puntung ini.
Legenda Putri Hijau
Sebenarnya, legenda Meriam Puntung merupakan bagian dari legenda Putri Hijau. Kisah itu menceritakan seorang putri cantik nan jelita di Kerajaan Haru bernama Putri Hijau. Putri Hijau memiliki kakak bernama Mambang Yazid dan adik bernama Mambang Kayali. Konon, wilayah kerajaan ini terbentang dari Langkat hingga ke Riau. Maka dari itu, dia begitu terkenal, terutama karena ciri khas keindahannya yang bisa memancarkan cahaya mirip hijau zamrud.
Pancaran cahaya hijau itu terlihat hingga ke wilayah kerajaan Aceh. Karena hal tersebut, sang Raja Aceh penasaran. Ia mengutus menterinya buat menelusuri dari mana sumber cahaya hijau itu. Hingga akhirnya mereka mengetahui bahwa cahaya tersebut berasal dari Putri Hijau, ia memutuskan untuk berangkat ke Kerajaan Haru untuk meminangnya. Terlebih lagi ketika melihat wujud Putri Hijau secara langsung, sang Raja Aceh semakin jatuh cinta.
Namun, pinangan terebuut ditolak oleh Putri Hijau, lantaran dirinya belum ada keinginan untuk bersuami dalam waktu dekat ini. Mambang Yazid, sang kakak yang terkenal dengan kebijaksaannya sebagai Raja sangat menghargai keputusan adiknya itu, memutuskan untuk menolak pinangan tersebut.
Meriam Puntung, Artefak Bersejarah di wilayah Istana Maimun. (Foto: Medina Azzahra/TIMES Indonesia)
Sang Raja Aceh begitu murka. Hampir setiap hari dan malam ia selalu terpikirkan Putri Hijau serta hasrat ingin memiliki begitu besar, pada akhirnya penolakan yang ia terima. Dari situlah, Raja Aceh memutuskan perang dengan Kerajaan Haru.
Pada akhirnya, rasa cinta membawa petaka. Ribuan pasukan dari Kerajaan Aceh menyerang ke Kerajaan Haru. Strategi khusus dari pasukan Aceh ialah menebar uang emas di area benteng pertahanan lawan. Hal itu menyebabkan fokus dari pasukan Kerajaan Deli menjadi teralihkan. Disitulah pasukan Aceh dengan mudah membobol benteng pertahanan.
Dalam keadaan terdesak, Mambang Kayali menjelma menjadi meriam dan mengeluarkan tembakna secara terus menerus sebagai perlindungan terhadap kedua kakaknya. Karena mengeluarkan tembakan tanpa henti, meriam tersebut menjadi begitu panas dan menyebabkan bagian ujungnya patah. Patahan tersebut terbang sangat jauh hingga ke Tanah Karo. Akhirnya, Mambang Kayali pun sudah tidak bisa kembali ke wujud manusia.
Kerajaan Haru mengalami kekalahan telak. Putri Hijau dibawa oleh sang Raja Aceh beserta rombongan melalui pelayaran di aliran sungai deli. Tetapi, sebelum dibawa, sang Putri menawarkan permintaan ke sang Raja untuk mempersiapkan keranda kaca, bertih dan telur. Lanjutnya, dia juga memohon agar rakyat Aceh untuk melemparkan sebutir telur dan segenggam bertih ke laut. Sang Raja pun menyanggupinya.
Tidak lama kemudian, badai menyergap rombongan sang Raja. Ketika tiba di laut, ombak menggulung tanpa henti. Kapal menjadi terombang-ambing. Di tengah semua kejadian itu, muncul seekor naga dari dalam laut yang disebut-sebut sebagai jelmaan Mambang Yazid.
Kemudian, Putri Hijau dibawa oleh sosok naga itu ke dalam dasar laut.
Peninggalan Bersejarah di Medan
Persis seperti namanya, meriam puntung berarti meriam yang putus. Meriam ini terbagi menjadi tiga bagian, satu patahan terlontar ke Desa Sukanalu di Karo dan sisanya ke Deli Serdang. Bagia terbesarnya disimpan di Istana Maimun.
Artefak ini memang bagian dari sejarah penaklukan Kerajan Tanah Deli Lama yang bernama Kerajaan Haru oleh kerajaan Aceh. Kerajaan ini berdiri sekitar abad ke-13 dan ke-16 Masehi. Menelusuri dari sumber internasonal, keberadaan Kerajaan Haru dibuktikan melalui kitab Dinasti Yuan. Dalam kitab tersebut disebutkan pada perintah Kubilai Khan tahun 1282 Masehi bahwa Kerajaan Haru harus tunduk ke Dinasti Yuan. Pada tahun 1295, perintah tersebut dijawab oleh Haru dengan cara mengirimkan upeti.
Namun, pada awal abad 16 Masehi, Kerajaan Aru berkonflik dengan Kerajaan Aceh. Berdasarkan dari beberapa sumber, tertulis bahwa Raja Kerajaan Aceh mengirimkan surat yang berisi tiga hal kepada Putri Hijau. Pertama, meminta Putri Hijau bersedia menjadi permaisuri Raja Aceh. Kedua, Aceh adalah Serambi Mekkah dan Aru adalah Serambi Aceh. Dan ketiga, Aceh akan menyebarkan agama Islam di Aru.
Tentu saja, Putri Hijau yang masih memeluk agama nenek moyang menolak mentah-mentah lamaran dari Raja Aceh. Meski demikian, ada sumber lain yang mengatakan jika Kerajaan Aru atau Haru disebut sudah menganut Islam pada pertengahan abad 13. Jauh lebih dahulu ketimbang Aceh dan Malaka.
Raja Aceh merasa terhina atas penolakan tersebut. Konflik antar kerajaan kian bergejolak dan meyebabkan pecahnya kembali perang besar antara kerajaan Aceh dan Kerajaan Aru II. Ditambah lagi, Kerajaan Aceh mendapatkan dukungan berupa pasukan dari Turki.
Kerajaan Aru pun hancur dan musnah. Usai takluk, Kerajaan Haru diambil alih Panglima Gocah Pahlawan, salah satu panglima perang. Pusat pemerintahan Kerajaan Aceh. Panglima Gocah Pahlawan dikirim oleh Sultan Iskandar Muda untuk menjadi wakil Aceh di wilayah kerajaan Haru yang berhasil ditaklukan. Hal ini yang menjadi cikal bakal berdirinya Kesultanan Deli.
Bagaimanapun, peninggalan ini menyimbolkan keterkaitan budaya Melayu Deli dengan pengaruh luar. Keberadaannya tidak sekedar objek wisata, melainkan sebagai jejak peninggalan teknologi militer di masa lalu. Maka dari itu, perlunnya kesadaran dan itikad penu dalam menjaga warisan budaya yang bersejarah ini. (*)
Pewarta: Medina Azzahra
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Meriam Puntung: Legenda Putri Hijau dan Peninggalan Bersejarah di Kota Medan
Pewarta | : Siti Nur Faizah |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |