TIMES SINGARAJA, JAKARTA – Sekumpulan permata dan perhiasan yang terkait dengan sisa jasad Buddha, dan disebut sebagai salah satu temuan arkeologi terbesar era modern, akan dilelang di Sotheby’s Hong Kong pada Rabu (24/5/2025).
Dikutip dari BBC, selama lebih dari seabad, harta karun yang digali dari gundukan tanah di India utara pada 1898 ini tersimpan rapi di koleksi pribadi keluarga Inggris, jarang dilihat publik. Kini, saat benda-benda ini hendak berpindah tangan, mereka tak hanya menggoda kolektor, tapi juga memicu pertanyaan etis, apakah harta tersebut layak diperjualbelikan.
Warisan yang Terkubur
Koleksi ini terdiri dari 1.800 mutiara, rubi, topas, safir, dan lembaran emas berukir, yang ditemukan di ruang batu bata dekat Lumbini (tempat kelahiran Buddha) di Uttar Pradesh, India.
Penemuannya—bersama fragmen tulang dalam guci bertuliskan "sisa Buddha"—mengguncang dunia arkeologi. Nicolas Chow, ketua Sotheby’s Asia, menyebutnya "salah satu penemuan arkeologi paling luar biasa sepanjang masa".
Tapi saat benda-benda ini masuk ruang lelang, para ahli mempertanyakan: etiskah menjual harta karun yang melekat dengan sejarah suci India?
Jejak Kolonial
Pada 1898, William Claxton Peppé, manajer perkebunan Inggris, menggali stupa di Piprahwa dan menemukan relik ini. Prasasti pada guci menunjukkan usia benda-benda itu hampir 2.000 tahun.
Ahli sejarah sepakat bahwa relik ini adalah warisan bagi keturunan klan Sakya Buddha dan umat Buddha global. Tulang belulangnya telah dibagikan ke Thailand, Sri Lanka, dan Myanmar untuk disembah.
Tapi permata dan emasnya tetap dipegang keluarga Peppé. Kini, keturunannya, Chris Peppé, memilih lelang sebagai cara "paling adil dan transparan" untuk memindahkan relik ke umat Buddha.
Naman Ahuja, sejarawan seni India, mempertanyakan: Bolehkah relik Buddha diperlakukan seperti karya seni yang bisa diperjualbelikan?
Sementara Ashley Thompson (SOAS University) dan kurator Conan Cheong menekankan: Bagi banyak umat Buddha, permata ini tak terpisahkan dari abu dan tulang—apakah etis memperdagangkannya?
Jalan Tengah?
Sotheby’s menyatakan telah melakukan pemeriksaan ketat atas keaslian dan legalitas benda-benda ini. Namun, beberapa pihak seperti British MahaBodhi Society di London menegaskan: "Relik ini seharusnya tetap utuh dengan perhiasannya untuk disembah selamanya."
Chris Peppé membantah klaim bahwa permata ini dianggap suci oleh umat Buddha. "Ini konstruksi akademisi Barat," katanya.
Dengan nilai sejarah dan spiritual yang tak ternilai, nasib permata Buddha ini kini tergantung pada palu lelang—dan apakah pembelinya akan mengembalikannya ke tanah suci, atau menjadikannya sekadar harta koleksi. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Permata Peninggalan Buddha Dilelang di Hong Kong, Picu Protes Etis
Pewarta | : Wahyu Nurdiyanto |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |